Tuesday 9 October 2012

Sujudku, Syukurku

Tak pernah aku senikmat ini kala membacanya.
Lagi-lagi ini tentang hidupku yang sedikit biasa saja. Tidak begitu banyak letupan terjadi, tapi bisa ku pastikan, bila ada satu hal maka itu akan jadi sangat besar. Apapun. Untuk itu berharaplah semua dalam kebaikan. Amin.
Beberapa hari yang lalu, aku pergi ke Klenteng bersama kedua kawan sejawat. Bukan untuk beribadah atau mengantar salah satu dari mereka berdoa, kami memang sedang melakukan penelitian yang mengharuskan kami untuk pergi ke sana. Berbagai hal terjadi hari itu. Mulai dari keterlambatan kereta sampai hujan deras yang mengantar kami pulang ke tempat masing-masing.
Khususnya di Klenteng. Saat turun dari angkutan umum dan melihat pintu masuk Klenteng yang menuh dengan patung naga melingkar, saya sempat berpikir tentang kehebatan orang yang membuat ini. Karena saya yakin, patung-patung naga melingkar itu manusialah yang mebuatnya. Tak akan tiba-tiba saja ada. Sedikit melangkah, bau hio sudah tercium pekat. Seketika saya menutup hidung tapi salah satu teman saya mengingatkan untuk menghormati adat mereka yang menyalakan hio. Sungguhpun aku tak bisa berbohong bahwa aku pusing sampai malam harinya karena bau hio menusuk hidung bahkan rasanya masih ada yang nyempil di saraf-sarafku sampai saat ini.
Penelitian yang membuat saya melangkah ke sana. Saya jadi ingat beberapa cerita yang pernah saya dengar dan say abaca tentang seorang peneliti dari Barat yang menikahi tukang beca hanya karena dia sedang meneliti kehidupan tukang beca. Sampai akhirnya dia mendapat gelar doctor karena penelitiannya itu. Ada lagi seorang wanita dari negara kulit putih yang menikahi kepala suku berkulit hitam di Indonesia. Hal yang sama, demi rampungnya penelitian dan digalinya info sebanyak-banyaknya. Nah, apakah itu yang sedang aku lakukan sekarang? Jawabnya, tidak tahu.
Banyak sekali percakapan dengan pengurus Klenteng yang melayani kami hari itu. Banyak sudah kesalahan tentang beberapa konsep keadatan yang berkembang di masyarakat. Salah satunya tentang anggapan bahwa bagi selain Buddha, memegang hio itu tidak dibenarkan. Ada lagi tentang cerita dewa dewi yang beredar di masyarakat belum tentu semuanya benar. Banyak hal!
Tapi yang terjadi hari itu adalah anugrah untukku. Aku sadar betapa banyak hal yang tidak aku tahu. Begitupun kawan-kawanku. Mereka sependapat denganku. Sebenarnya yang telah dibicarakan bersama pengurus Klenteng itu bukanlah tata cara, aturan, atau suatu perintah yang berujung keharusan.tetapi keluwesan berpikir dalam hal bersosial. Kadang kita memang lupa itu. Akui saja.
Sepulang dari Klenteng, aku berpikir mengenai hal-hal yang menyangkut tata cara beribadah masing-masing agama. Ada yang mengatakan bahwa Islam bisa lebih mengenal Tuhannya karena muslim ‘berbicara’ dengan Allah 5 kali dalam sehari. Atau Kristen yang bagi banyak orang mengerti apa arti ritual seminggu sekali dan karen itu mereka selalu memakai hiasan dan pakaian terbaik mereka, dengan tetap menjaga kesopanan, untuk pergi ke gereja seminggu sekali. Ada pula yang memahami betul konsep penyembahan Buddha sebagai sebuah tanda bakti yang dalam dengan selalu menjaga harmonisasi dalam hidup. Belum lagi kita bahas Hindu yang menjalani hidup, bersentuhan dengan alam dan mengkaitkannya kepada rasa syukur yang diucap setiap malam.
Aku kagum. Aku beruntung menjadi bagian dari salah satu agama. Aku menghargai semuanya.
Saat di Klenteng dan berpikir sepanjang hari tentang ini, ada rasa kerinduan yang menyeruat dalam dada. Entah apa itu. Tapi bisa aku katakan sekarang bahwa hal itu adalah rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah menciptakan perbedaan diantara kita semua. Bukan untuk disbanding-bandingkan. Tetapi untuk dihargai dan dihormati keberadaannya.
Banyak diskusi pecah jadi adu argumentasi hanya karena beda pendapat. Banyak pasangan berpisah hanya karena beda persepsi. Banyak perang terjadi dengan alasan perbedaan. Tapi sebenarnya kita tidak sadar bahwa semua itu terjadi karena kita tidak memiliki perhatian khusus untuk mengerti makna dan tujuan perbedaan.
Rasa rindu itu begitu pekat ada di dalam hati. Sesampai di kamar kos, aku bergegas membersihkan diri sesuai tata cara keagamaan yang aku anut dari lahir (dan aku harap sampai mati) untuk ‘berbicara’ kepada Allah.
Shalat Isya terasa begitu nikmat. Tak ayal aku teteskan air mata seusai shalat. Dan hal yang beberapa bulan ini tidak ku lakukan, aku lakukan malam itu. Mengaji. Selesai mengaji, kembali aku teteskan air mata sambil memeluk Qur’an. Berucap syukur dan..merasakan kasih sayang Allah.

No comments:

Post a Comment