Thursday 11 October 2012

Alyosha



Ada hal-hal berharga yang selalu kita simpan untuk dikenang. Seperti foto, video, barang pemberian dari orang yang teramat special, atau bahkan tiket nonton.

Ya, anda bisa saja menaruh foto orang terkasih anda di tempat yang sangat aman di kamar anda pada sebuah kotak mungil yang bisa anda buka, lihat isinya kapan saja anda mau. Ada seorang kawan, dia menempelkan foto-foto orang terdekatnya pada sebuah papan dan dia pajang di dinding rumah. Dia menjadikan pajangan itu sebagai center of view dari ruang tengahnya. Menarik!

Ya, anda juga bisa menaruh bekas tiket bioskop di dompet anda. Sudah sangat pasti anda nonton film dengan orang terkasih anda (tidak dengan saya, hahahaaa).

Surat dari orang istimewa? Tentu anda tidak akan membuangnya begitu saja, bukan? Di mana anda menyimpannya? Ah, biar saya tebak, anda pasti menyimpannya di sebuah laci khusus. Bahkan tak ragu anda menyimpannya bersama dokumen penting hidup anda seperti akta lahir dan ijazah-ijazah. Apa betul? Mengaku saja.

Saya juga menyimpan hal-hal berharga. Saya tulis semua pada sebuah buku bersampul merah. Tapi itu saya lakukan dulu. Suatu ketika saya tulis kenakalan saya dan tanpa saya tahu ibu membacanya. Kontan sepulang sekolah saya habis dimarahi. Dari saat itu saya tidak pernah menulis diary. Saya benar-benar tidak ingin membuatnya marah. Jadi sesekali saya hanya menulis haiku untuk mengenang semuanya. Haiku yang hanya saya tulis, saya tidak pernah membacanya lagi. Itu cara saya.

Kawan, paling tidak kita punya hal indah yang mungkin saja bagi orang lain itu konyol, menyebalkan, atau juga sama-sama dianggap indah untuk dikenang. Ya, seperti foto-foto itu, tiket-tiket itu, surat-surat itu, cerita-cerita itu, semua untuk kita ingat bukan?

Tapi bagaimana dengan Alyosha? Apa yang bisa dia kenang dari hidupnya yang malang?

Sedari kecil hanya cercaan dan hinaan yang dia dapat. Tidak cari kawan-kawannya, tidak dari tetangga-tetangganya, tapi semua hinaan itu justru datang dari orangtuanya sendiri. Saat melakukan kesalahan ibunya memakinya habis dan menjulukinya si botol sampai semua orang memanggilnya dengan sebutan yang sama. Alyosha hanya bisa diam.

Beranjak dewasa dia menggantikan posisi kakak kandungnya menjadi pesuruh di rumah saudagar kaya dan itu atas permintaan ayahnya. Alyosha diam saja dan selalu begitu.

Memiliki tuan juga tak membuat nasibnya mujur. Orang-orang selalu menyuruhnya melakukan ini itu hingga dia harus bekerja seperti orang kesetanan, tidak ada lelahnya. Tapi toh Alyosha diam saja dan selalu begitu
.
Saat dia mulai mengerti arti mengasihi dan dikasihi, dia harus mengurungkan niatnya untuk kawin karena semua orang tidak setuju Alyosha kawin. Ayahnya yang bediri paling depan melarangnya. Ya, ayahnya bersikap begitu karena sebetulnya upah Alyosha setiap bulan diambilnya. Bahkan Alyosha tidak pernah tahu berapa upah yang seharusnya dia terima. Alyosha diam dan selalu begitu.

Saat Alyosha dihadapkan pada maut, dia hanya diam dan memang selalu begitu. Diam sampai Tuhan memanggilnya dengan mudah.

Apa yang bisa Alyosha kenang? Hal baik apa yang bisa Alyosha ingat?

Tetapi Alyosha, seorang pria Rusia yang kurus kecil berkuliat agak gelap karena banyak bekerja dan keringat, membuat saya mengenang sesuatu. Bahwa kalau di dunia ini semuanya berjalan dengan baik, selama kita melakukan apa yang diperintah-Nya dan tidak menyakiti orang lain, maka di atas sana semua juga akan baik-baik saja.

Seperti Alyosha yang hanya diam dan menurut apa yang diperintahkan kepadanya, dia tidak pernah berniat menyakiti siapapun pun saat dia berkehendak. Alyosha telah mati tanpa menyakiti siapapun. Semoga apa yang dilakukan Alyosha selama dia hidup berterima bagi ibu, ayah dan tuannya.





Tulisan ini didedikasikan khusus untuk Leo Tolstoy, seorang sastrawan klasik Rusia.

No comments:

Post a Comment