Tak pernah aku senikmat ini kala membacanya.
Lagi-lagi
ini tentang hidupku yang sedikit biasa saja. Tidak begitu banyak
letupan terjadi, tapi bisa ku pastikan, bila ada satu hal maka itu akan
jadi sangat besar. Apapun. Untuk itu berharaplah semua dalam kebaikan.
Amin.
Beberapa
hari yang lalu, aku pergi ke Klenteng bersama kedua kawan sejawat.
Bukan untuk beribadah atau mengantar salah satu dari mereka berdoa, kami
memang sedang melakukan penelitian yang mengharuskan kami untuk pergi
ke sana. Berbagai hal terjadi hari itu. Mulai dari keterlambatan kereta
sampai hujan deras yang mengantar kami pulang ke tempat masing-masing.
Khususnya
di Klenteng. Saat turun dari angkutan umum dan melihat pintu masuk
Klenteng yang menuh dengan patung naga melingkar, saya sempat berpikir
tentang kehebatan orang yang membuat ini. Karena saya yakin,
patung-patung naga melingkar itu manusialah yang mebuatnya. Tak akan
tiba-tiba saja ada. Sedikit melangkah, bau hio sudah tercium pekat.
Seketika saya menutup hidung tapi salah satu teman saya mengingatkan
untuk menghormati adat mereka yang menyalakan hio. Sungguhpun aku tak
bisa berbohong bahwa aku pusing sampai malam harinya karena bau hio
menusuk hidung bahkan rasanya masih ada yang nyempil di saraf-sarafku sampai saat ini.
Penelitian
yang membuat saya melangkah ke sana. Saya jadi ingat beberapa cerita
yang pernah saya dengar dan say abaca tentang seorang peneliti dari
Barat yang menikahi tukang beca hanya karena dia sedang meneliti
kehidupan tukang beca. Sampai akhirnya dia mendapat gelar doctor karena
penelitiannya itu. Ada lagi seorang wanita dari negara kulit putih yang
menikahi kepala suku berkulit hitam di Indonesia. Hal yang sama, demi
rampungnya penelitian dan digalinya info sebanyak-banyaknya. Nah, apakah
itu yang sedang aku lakukan sekarang? Jawabnya, tidak tahu.
Banyak
sekali percakapan dengan pengurus Klenteng yang melayani kami hari itu.
Banyak sudah kesalahan tentang beberapa konsep keadatan yang berkembang
di masyarakat. Salah satunya tentang anggapan bahwa bagi selain Buddha,
memegang hio itu tidak dibenarkan. Ada lagi tentang cerita dewa dewi
yang beredar di masyarakat belum tentu semuanya benar. Banyak hal!
Tapi
yang terjadi hari itu adalah anugrah untukku. Aku sadar betapa banyak
hal yang tidak aku tahu. Begitupun kawan-kawanku. Mereka sependapat
denganku. Sebenarnya yang telah dibicarakan bersama pengurus Klenteng
itu bukanlah tata cara, aturan, atau suatu perintah yang berujung
keharusan.tetapi keluwesan berpikir dalam hal bersosial. Kadang kita
memang lupa itu. Akui saja.
Sepulang
dari Klenteng, aku berpikir mengenai hal-hal yang menyangkut tata cara
beribadah masing-masing agama. Ada yang mengatakan bahwa Islam bisa
lebih mengenal Tuhannya karena muslim ‘berbicara’ dengan Allah 5 kali
dalam sehari. Atau Kristen yang bagi banyak orang mengerti apa arti
ritual seminggu sekali dan karen itu mereka selalu memakai hiasan dan
pakaian terbaik mereka, dengan tetap menjaga kesopanan, untuk pergi ke
gereja seminggu sekali. Ada pula yang memahami betul konsep penyembahan
Buddha sebagai sebuah tanda bakti yang dalam dengan selalu menjaga
harmonisasi dalam hidup. Belum lagi kita bahas Hindu yang menjalani
hidup, bersentuhan dengan alam dan mengkaitkannya kepada rasa syukur
yang diucap setiap malam.
Aku kagum. Aku beruntung menjadi bagian dari salah satu agama. Aku menghargai semuanya.
Saat
di Klenteng dan berpikir sepanjang hari tentang ini, ada rasa kerinduan
yang menyeruat dalam dada. Entah apa itu. Tapi bisa aku katakan
sekarang bahwa hal itu adalah rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa
yang telah menciptakan perbedaan diantara kita semua. Bukan untuk
disbanding-bandingkan. Tetapi untuk dihargai dan dihormati
keberadaannya.
Banyak diskusi pecah jadi adu argumentasi hanya karena beda pendapat. Banyak pasangan berpisah hanya karena beda persepsi. Banyak perang terjadi dengan alasan perbedaan.
Tapi sebenarnya kita tidak sadar bahwa semua itu terjadi karena kita
tidak memiliki perhatian khusus untuk mengerti makna dan tujuan
perbedaan.
Rasa
rindu itu begitu pekat ada di dalam hati. Sesampai di kamar kos, aku
bergegas membersihkan diri sesuai tata cara keagamaan yang aku anut dari
lahir (dan aku harap sampai mati) untuk ‘berbicara’ kepada Allah.
Shalat
Isya terasa begitu nikmat. Tak ayal aku teteskan air mata seusai
shalat. Dan hal yang beberapa bulan ini tidak ku lakukan, aku lakukan
malam itu. Mengaji. Selesai mengaji, kembali aku teteskan air mata sambil memeluk Qur’an. Berucap syukur dan..merasakan kasih sayang Allah.
No comments:
Post a Comment